Khutbah terakhir Umar Al-Khattab
Dari Ma’dan Bin Abu Thalhah Al Ya’mari bahawa Umar Bin Al-Khathab berdiri di atas mimbar pada hari Jumaat, kemudian memuji dan mengagungkan Allah lalu menyebutkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan Abu Bakar, kemudian berkata: “Aku bermimpi dan aku menganggapnya itu adalah pertanda akan tibanya ajalku, aku bermimpi seakan-akan seekor ayam jantan mematukku dua kali.” Ma’dan berkata: Dia (Umar) menyebutkan bahawa ayamnya berwarna merah, kemudian aku ceritakan kepada Asma’ Binti Umais, isteri Abu Bakar, maka dia berkata: “Seorang lelaki asing/selain arab akan membunuhmu.”
Umar berkata: “Sesungguhnya orang-orang menyuruhku untuk mengangkat seorang pengganti, dan sesungguhnya Allah tidak akan menngsia-siakan agama dan kekhilafahan-Nya, yang telah mengutus Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam dengan mengusungnya, dan jika ajal menjemputku maka urusan ini diserahkan di dalam Syura’ (musyawarah) di antara enam orang yang ketika Nabiyullah shallallahu ‘alaihi wasallam meninggal beliau redha kepada mereka, maka siapa saja di antara mereka yang kalian bai’ah hendaklah kalian dengar dan taati, dan sesungguhnya aku mengetahui akan ada orang-orang yang akan mengacaukan urusan ini, dan aku adalah yang akan memerangi mereka dengan tanganku atas dasar Islam, mereka itulah musuh musuh Allah, orang-orang kafir lagi sesat, demi Allah, aku tidak akan meninggalkan dari apa-apa yang telah Rabbku janjikan kepadaku kemudian menggantikan dengan sesuatu yang lebih penting bagiku daripada Al Kalalah (seseorang yang meninggal dan tidak meninggalkan bapa serta anak).
Dan demi Allah, tidak pernah Nabiyullah shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan sesuatu kepadaku tentang sesuatu sejak aku menemani beliau melebihi ketegasannya kepadaku dalam masalah Al Kalalah sampai beliau menusukkan jarinya ke dadaku dan berkata: “Cukup bagimu ayat tentang shaif yang ada di akhir surah An-Nisa’, sesungguhnya jika aku hidup maka aku akan putuskan masalah itu dengan keputusan yang dapat diketahui oleh orang yang membaca dan orang yang tidak membaca, dan aku bersaksi kepada Allah atas pemimpin-pemimpin negeri, bahawasanya aku mengutus mereka supaya mereka mengajarkan kepada manusia perihal urusan agama mereka dan agar supaya mereka menjelaskan tentang sunnah Nabi mereka shallallahu ‘alaihi wasallam dan mengadukan kepadaku apa yang tidak mereka ketahui.
Kemudian sesungguhnya kalian wahai manusia, kalian memakan dua pohon yang tidak aku anggap kecuali keduanya adalah menjijikkan, iaitu bawang putih dan bawang merah ini, demi Allah aku telah melihat Nabiyullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika mencium bau keduanya dari seorang lelaki, beliau menyuruhnya sambil memegang tangannya untuk keluar dari masjid sehingga diletakkan di Baqi’, maka barangsiapa memakan keduanya hendaklah memasaknya hingga tidak ada baunya.” Ma’dan berkata: “Umar berkhutbah di hadapan manusia pada hari Jumaat dan terbunuh pada hari Rabu.”
(Musnad Ahmad, no. 85)
Wafatnya Khalifah Umar dan wasiatnya
Dari ‘Amru bin Maimun, dia berkata: “Aku berdiri dan tidak ada seorang pun antara aku dan Umar Al-Khattab kecuali ‘Abdullah bin ‘Abbas pada subuh hari saat Umar terkena musibah. Subuh itu, Umar hendak memimpin solat dengan melalui barisan saf lalu berkata: “Luruskanlah saf”. Ketika dia sudah tidak melihat lagi pada jemaah ada celah-celah dalam barisan saf tersebut, maka Umar maju lalu bertakbir. Sepertinya dia membaca surah Yusuf atau An-Nahl atau seperti surah itu pada rakaat pertama hingga memungkinkan semua orang bergabung dalam solat. Ketika aku tidak mendengar sesuatu darinya kecuali ucapan takbir, tiba-tiba terdengar dia berteriak: “Ada orang yang membunuhku”, atau katanya: “Seekor anjing telah menerkamku.” Rupanya ada seseorang yang menikamnya dengan sebilah pisau bermata dua. Penikam itu tidaklah melalui orang-orang di sebelah kanan atau kirinya melainkan dia menikamnya pula hingga dia telah menikam sebanyak tiga belas orang yang mengakibatkan tujuh orang di antaranya meninggal dunia.
Ketika seseorang dari kaum muslimin melihat kejadian itu, dia melemparkan bajunya dan tepat mengenai si pembunuh itu. Dan ketika dia menyedari bahawa dia pasti tertangkap (tak lagi boleh menghindar), dia bunuh diri. Umar memegang tangan ‘Abdur Rahman bin ‘Auf lalu menariknya ke depan. Siapa saja orang yang berada dekat dengan Umar pasti dapat melihat apa yang aku lihat. Ada pun orang-orang yang berada di sudut-sudut masjid, mereka tidak mengetahui peristiwa yang terjadi, selain hanya tidak mendengar suara Umar. Mereka berkata (dalam solat): “Subhaanalah, Subhaanalah (Maha Suci Allah)”. Maka ‘Abdur Rahman melanjutkan solat jemaah secara ringkas. Setelah solat selesai, Umar bertanya: “Wahai Ibnu ‘Abbas, lihatlah siapa yang telah membunuhku.” Ibnu ‘Abbas berkeliling sesaat lalu kembali dan berkata: “Budaknya Al Mughirah.” Umar bertanya: “Oh, si budak yang pandai membuat pisau itu?” Ibnu ‘Abbas menjawab: “Ya benar.” Umar berkata: “Semoga Allah membunuhnya, sungguh aku telah memerintahkan dia berbuat ma’ruf (kebaikan). Segala puji bagi Allah yang tidak menjadikan kematianku di tangan orang yang mengaku beragama Islam.”
Kemudian Umar dibawa ke rumahnya dan kami ikut menyertainya. Saat itu orang-orang seakan-akan tidak pernah terkena musibah seperti hari itu sebelumnya. Di antara mereka ada yang berkata: “Dia tidak apa-apa.” Dan ada juga yang berkata: “Aku sangat mengkhuatirkan nasibnya.” Kemudian Umar diberikan anggur lalu dia memakannya namun makanan itu keluar dari perutnya. Kemudian diberi susu lalu dia pun meminumnya namun susu itu keluar melalui lukanya. Akhirnya orang-orang menyedari bahawa Umar akan segera meninggal dunia. Maka kami pun masuk menjenguknya lalu diikuti oleh orang-orang yang datang dan memujinya. Tiba-tiba datang seorang pemuda seraya berkata: “Berbahagialah anda, wahai Amirul Mukminin dengan khabar gembira dari Allah untuk anda kerana telah hidup dengan mendampingi (menjadi sahabat) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan yang terdahulu menerima Islam berupa ilmu yang anda ketahui. Lalu anda diberi kepercayaan menjadi pemimpin dan anda telah menjalankannya dengan adil lalu anda mati syahid.” Umar berkata: “Aku sudah merasa senang jika masa kekhilafahanku berakhir neutral, aku tidak terkena dosa dan juga tidak mendapat pahala.” Ketika pemuda itu berlalu, tampak pakaiannya menyentuh tanah, maka Umar berkata: “Bawa kembali pemuda itu kepadaku.” Umar berkata kepadanya: “Wahai anak saudaraku, angkatlah pakaianmu kerana yang demikian itu lebih baik dan lebih membuatmu taqwa kepada Rabbmu.”
“Wahai ‘Abdullah bin Umar, lihatlah berapa jumlah hutang yang menjadi kewajibanku,” tanya Umar. Maka mereka menghitungnya dan mendapatan hasilnya bahawa hutangnya sebesar lapan puluh enam ribu atau sekitar itu. Umar berkata: “Jika harta keluarga Umar mencukupi bayarlah hutang itu dengan harta mereka. Namun apabila tidak mencukupi maka mintalah kepada Bani ‘Adiy bin Ka’ab. Dan apabila harta mereka masih tidak mencukupi, maka mintalah kepada masyarakat Quraisy dan jangan mengatasi mereka dengan meminta kepada selain mereka lalu lunasilah hutangku dengan harta-harta itu. Temuilah Aisyah, Ummul Mukminin radhiallahu ‘anha, dan sampaikan salam dari Umar dan jangan kalian katakan dari Amirul Muminin kerana hari ini bagi kaum mukminin aku bukan lagi sebagai pemimpin dan katakan bahawa Umar bin Al-Khattab meminta izin untuk dikuburkan di samping kedua sahabatnya.”
Maka ‘Abdullah bin Umar memberi salam, meminta izin lalu masuk menemui Aisyah radhiallahu ‘anha. Ternyata ‘Abdullah bin Umar mendapatkan Aisyah sedang menangis. Lalu dia berkata: “Umar bin Al-Khattab menyampaikan salam buat anda dan meminta izin agar boleh dikuburkan disamping kedua sahabatnya (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan Abu Bakar radliallahu ‘anhu).” Aisyah radhiallahu ‘anha berkata: “Sebenarnya aku juga menginginkan hal itu untuk diriku namun hari ini aku tidak akan lebih mementingkan diriku.” Ketika ‘Abdullah bin Umar kembali, dikatakan kepada Umar: “Ini dia, ‘Abdullah bin Umar sudah datang.” Maka Umar berkata: “Angkatlah aku.” Maka seorang laki-laki datang memapahnya. Umar bertanya: “Berita apa yang kamu bawa?” Ibnu Umar menjawab: “Berita yang anda sukai, wahai Amirul Mukminin. Aisyah telah mengizinkan anda.” Umar berkata: “Alhamdulillah. Tidak ada sesuatu yang paling penting bagiku selain hal itu. Jika aku telah meninggal, bawalah jasadku kepadanya dan sampaikan salamku lalu katakan bahawa Umar bin Al-Khattab meminta izin. Jika dia mengizinkan maka masukkanlah aku (kuburkan) namun bila dia menolak maka kembalikanlah jasadku ke kuburan Kaum Muslimin.
Kemudian Hafsah, Ummul Mukminin datang dan beberapa wanita ikut bersamanya. Tatkala kami melihatnya, kami segera berdiri. Hafsah kemudian mendekat kepada Umar lalu dia menangis sejenak. Kemudian beberapa orang laki-laki meminta izin masuk, maka Hafsah masuk ke bilik kerana ada orang yang mahu masuk. Maka kami dapat mendengar tangisan Hafsah dari balik bilik. Orang-orang itu berkata: “Berilah wasiat, wahai Amirul Mukminin. Tentukanlah pengganti anda.” Umar berkata: “Aku tidak menemukan orang yang paling berhak atas urusan ini daripada mereka atau segolongan mereka yang ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat beliau redha kepada mereka. Maka dia menyebut nama Ali, Uthman, Az Zubair, Thalhah, Sa’ad dan ‘Abdur Rahman. Selanjutnya dia berkata: “Abdullah bin Umar akan menjadi saksi atas kalian. Namun dia tidak punya peranan dalam urusan ini, dan tugas itu hanya sebagai bentuk penghibur baginya. Jika kepemimpinan jatuh ke tangan Sa’ad, maka dialah pemimpin urusan ini. Namun apabila bukan dia, maka mintalah bantuan dengannya. Dan siapa saja di antara kalian yang diserahi urusan ini sebagai pemimpin maka aku tidak akan memecatnya kerana alasan lemah atau berkhianat.”
Selanjutnya Umar berkata: “Aku berwasiat kepada khalifah sesudahku agar memahami hak-hak kaum Muhajirin dan menjaga kehormatan mereka. Aku juga berwasiat kepadanya agar selalu berbuat baik kepada kaum Ansar yang telah menempati negeri (Madinah) ini dan telah beriman sebelum kedatangan mereka (kaum Muhajirin) agar menerima orang baik, dan memaafkan orang yang keliru dari kalangan mereka. Dan aku juga berwasiat kepadanya agar berbuat baik kepada seluruh penduduk kota ini kerana mereka adalah para pembela Islam dan telah menyumbangkan harta (untuk Islam) dan telah bersikap keras terhadap musuh. Dan janganlah mengambil dari mereka kecuali harta lebihan mereka dengan kerelaan mereka. Aku juga berwasiat agar berbuat baik kepada orang-orang Arab Badwi kerana mereka adalah nenek moyang bangsa Arab dan perintis Islam, dan agar diambil dari mereka bukan harta pilihan (utama) mereka (sebagai zakat) lalu dikembalikan (disalurkan) untuk orang-orang fakir dari kalangan mereka. Dan aku juga berwasiat kepadanya agar menunaikan perjanjian kepada ahlu Dzimmah (warga bukan muslim yang wajib terkena pajak), iaitu orang-orang yang di bawah perlindungan Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam (asalkan membayar pajak) dan mereka (ahlu Dzimmah) yang berniat memerangi harus diperangi, mereka juga tidak boleh dibebani selain sebatas kemampuan mereka.”
Ketika Umar sudah menghembuskan nafas, kami keluar membawanya lalu kami berangkat dengan berjalan. ‘Abdullah bin Umar mengucapkan salam (kepada Aisyah radhiallahu ‘anha) lalu berkata: “Umar bin Al-Khattab meminta izin.” Aisyah radhiallahu ‘anha berkata: “Masukkanlah.” Maka jasad Umar dimasukkan ke dalam liang lahad dan diletakkan berdampingan dengan kedua sahabatnya. Setelah selesai menguburkan jenazah Umar, orang-orang (yang telah ditunjuk untuk mencari pengganti khalifah) berkumpul. ‘Abdur Rahman bin ‘Auf berkata: “Jadikanlah urusan kalian ini kepada tiga orang di antara kalian. Maka Az Zubair berkata: “Aku serahkan urusanku kepada Ali.” Sementara Thalhah berkata: “Aku serahkan urusanku kepada Uthman.” Sedangkan Sa’ad berkata: “Aku serahkan urusanku kepada ‘Abdur Rahman bin ‘Auf.” Kemudian ‘Abdur Rahman bin ‘Auf berkata: “Siapa di antara kalian berdua yang mahu melepaskan urusan ini maka kami akan serahkan kepada yang satunya lagi, Allah dan Islam akan mengawasinya sungguh seseorang dapat melihat siapa yang terbaik di antara mereka menurut pandangannya sendiri.” Dua pembesar (Uthman dan Ali) terdiam.
Lalu ‘Abdur Rahman berkata: “Apakah kalian menyerahkan urusan ini kepadaku? Allah tentu mengawasiku dan aku tidak akan semena-mena dalam memilih siapa yang terbaik di antara kalian.” Keduanya berkata: “Baiklah.” Maka ‘Abdur Rahman memegang tangan salah seorang dari keduanya seraya berkata: “Engkau (Ali) adalah kerabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan dari kalangan pendahulu dalam Islam (senior) sebagaimana yang kamu ketahui dan Allah akan mengawasimu. Seandainya aku serahkan urusan ini kepadamu tentu kamu akan berbuat adil dan seandainya aku serahkan urusan ini kepada Uthman tentu kamu akan mendengar dan mentaatinya.” Kemudian dia berbicara menyendiri dengan Uthman dan berkata sebagaimana yang dikatakannya kepada Ali. Ketika dia mengambil perjanjian bai’ah, ‘Abdur Rahman berkata: “Angkatlah tanganmu wahai Uthman.” Maka Abdur Rahman membai’ah Uthman lalu Ali ikut membai’ahnya kemudian para penduduk masuk untuk membai’ah Uthman.”
(Sahih Bukhari, no. 3424)
Malunya Ummul Mukminin Aisyah kepada Umar
Ummul Mukminin Aisyah radhiallahu ‘anha berkata: “Setiap kali aku masuk ke rumahku yang di dalamnya telah dimakamkan jasad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan ayahku sendiri (Abu Bakar), dan apabila hendak membuka baju, aku berkata dalam hati: ‘Tidak perlu malu kerana di sini hanya ada suamiku dan ayahku sendiri.’ Tetapi setelah Umar radhiallahu ‘anhu dimakamkan di tempat yang sama, demi Allah, setiap kali berada di dalam rumah, aku selalu memakai pakaian lengkap, kerana malu kepada Umar.”
(Bahjatul Majaalis, al-Qurthubi)
+ Baca Respon Pembaca di Facebook Oh! Media
Oh! Makan
Sumber: Oh! Media